“MEREKA BILANG, SAYA MONYET!”
Karya Djenar Maesa Ayu
PEMBAHASAN
Unsur-unsur
Pembangun Cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet!”
A. Unsur
Intrinsik
1. Tema
Tema
dalam cerpen ini yaitu kemunafikan. Buku ini menginspirasi dan
mengingatkan kita betapa manusia sudah tidak lagi manusiawi. Mengumbar
kemunafikan yang semakin menghitamkan kehidupannya. di luar, mereka terlihat
baik dan sempurna di mata orang lain, tetapi tidak untuk di belakang.
Manusia-manusia itu berperilaku seperti seorang binatang dan sangat buruk. Cerita dalam novel ini saling berhubungan dunia
politik, pejabat, penguasa, pengusaha dengan tokoh yang disamarkan berupa
sekelompok manusia berwajah binatang yang nampaknya menyindir tingkah laku
manusia yang berhati binatang.
“Sepanjang hidup saya melihat manusia
berkaki empat. Berekor anjing, babi atau kerbau. Berbulu serigala, landak atau
harimau. Dan berkepala ular, banteng atau keledai.
Namun tetap saja mereka bukan binatang.
Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara
selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku
bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan
berdasi. Bahkan konon mereka mempunyai hati.”
2.
Tokoh
dan Penokohan
a. Tokoh
Utama
Tokoh utama dalam cerpen ini adalah tentang seorang
wanita yang dilambangkan berupa seekor monyet. Monyet ini berkarakter baik,
yaitu memerangi moral bejat yang muncul di lingkungannya.
“Saya menunggu di dalam kamar mandi. Tidak lama
pintu diketuk. Saya membuka pintu. Si Kepala Buaya menyeruak masuk dan
memberondong saya dengan ciuman.Saya cekik lehernya dan saya sandarkan dia ke
dinding. Saya hajar mukanya seperti apa yang saya harapkan sebelumnya. Pintu
kamar mandi diketuk. Saya membuka pintu dan Si Kepala Ular sudah berdiri
berkacak pinggang di depan pintu. Saya mempersilakan ia masuk dan meninggalkan
mereka. Saya mendengar suara tamparan di pipi Si Kepala Buaya tempat saya
menghajar tadi”.
Tokoh saya
dalam cerpen Mereka Bilang Saya monyet! Merupakan sosok perempuan hidup dalam
lingkungan (teman-temannya) yang tidak sesuai dengannya. Keberadaannya yang tidak di anggap oleh
temannya atau di pandang hanya sebelah mata. Dia dipanggil Monyet oleh
teman-temannya, yang menganut gaya hidup munafik dan free seks.
Cerpen ini juga terlihat bahwa penguasa yang di gambarkan seperti binatang ini
tidak hanya melakukan seks bebas, tetapi juga bertindak sewenang-wenang dan
adanya penindasan terhadap kaum kecil yaitu tokoh saya “monyet”.
“Saya
memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki
dua berkepala manusia tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata
mereka saya adalah seekor monyet. Waktu mereka mengatakan itu kepada saya saya
sangat gembira. Saya katakan jika saya seekor monyet maka saya satu-satu
binatang yg paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas
mereka. Tapi mereka manusia bukan binatang karena mereka mempunyai akal &
perasaan. Dan saya hanyalah seekor binatang.”
Dan
dia juga berani mendobrak kepincangan yang terjadi di lingkungannya, hal ini
ditampilkan dalam cerpen yaitu dia yang biasa terkucil tidak ada seorang pun
yang peduli kepadanya, kini berani mengangkat kaki menuju ke panggung bernyanyi
dengan kepala dihentak-hentakkan sambil berjingkrak-jingkrak dan ternyata semua
yang hadir bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Dia merasa kemerdekaannya kini
mulai bangkit.
b. Tokoh
Si Kepala Buaya, berekor kalajengking, ia adalah seorang pria yang bermata
keranjang.
“Kebutuhan
saya untuk buang air kecil semakin mendesak. Pintu kamar mandi masih
terkunci.Saya mengetuk pintu pelan-pelan.Tidak ada jawaban dari dalam.Tidak ada
suara air.Tidak ada suara mengedan.Saya menempelkan telinga saya di mulut
pintu.Saya mendengar desahan tertahan.Saya kembali mengetuk pintu.Desahan itu
berangsur diam. Saya mengintip lewat lubang kunci bersamaan dengan pintu dibuka
dari dalam.Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari dalam kamar mandi.Yang
laki-laki lantang memaki, “Dasar binatang! Dasar monyet! Gak punya otak
ngintip-ngintip orang!”
Seharusnya
saya menghajar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu. ....”
c. Si
Kepala Ular, ia adalah seorang wanita bejat yang sering berganti-ganti
pasangan.
“Mata
saya bertubrukan dengan mata Si Kepala Buaya yang berekor kalajengking itu.
Perempuan berkepala ularnya masih berasyik masyuk dengan laki-laki
berkepala buaya lain. Mungkin laki-laki itu gigolo, pikir saya. Mana mungkin
laki-laki sejati rela menyerahkan kekasihnya ke dalam pelukan laki-laki lain?”
d. Si
Kepala Anjing, ia adalah seorang wanita yang sering berhubungan dengan
banyak lelaki padahal sudah bersuami, bahkan ia tertarik pula dengan Monyet
yang notabene sama-sama wanita seperti dirinya.
“Saya tahu persis siapa dirinya. Saya tahu persis Si
Kepala Anjing berhubungan dengan banyak laki-laki padahal ia sudah bersuami.
Saya tahu persis Si Kepala Anjing sering mengendus-endus kemaluan Si Kepala
Srigala. Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah mengendus-endus kemaluan saya
walaupun kami berkelamin sama. Tapi tidak di depan umum.”
Dia juga seorang wanita yang cerewet, seperti
dikisahkan dalam cerpen setelah Monyet berada di atas panggung dan bertanya
kepada Si Kepala Gajah, Si Kepala Serigala, Si Kepala Babi, Si Kepala Kuda
semua membisu, hanya Si Kepala Anjinglah yang berani menggonggong.
“Hanya
Si Kepala Anjing yang berani menggonggong.“Bagaimana kamu mau disebut manusia?
Wujudmu boleh manusia, tapi kelakuanmu benar-benar monyet!” ... . Ia kembali
menggonggong tertahan. “Susah bicara dengan makhluk yang tidak punya otak!
Sudahlah, kamu tidak akan pernah bisa mengerti apa yang saya katakan dan
maksudkan. Kamu tidak punya perasaan malu.Kamu tidak punya akal untuk
membedakan mana yang tidak dan mana yang pantas untuk kamu lakukan.”
e. Tokoh
tambahan lainnya yang ada dalam kehidupan Si Monyet adalah Si Kepala
Serigala berwajah hitam yang selalu mengeluarkan uang untuk berpesta pora
di kafe mentraktir kelompoknya, Si Kepala Gajah berwajah
abu-abu, Si Kepala Harimau berwajah coklat, Si Kepala
Babi, Si Kepala Kuda dan Si Kepala Sapi.
Metafora manusia dengan bermacam-macam
binatang dalam cerpen tersebut menunjukkan betapa para manusia sudah memiliki
karakter yang kurang beradab. Dalam realitas sehari-hari perbedaan manusia
dengan binatang, karena dalam perspektif manusia di pandang lebih beradab dari
binatang.
3.
Alur
Dilihat dari cara menyusun bagian-bagian
alur, Djenar menampilkannya secara urut disusun mulai kejadian awal
memperkenalkan para tokoh kepada pembaca diteruskan dengan kejadian-kejadian
berikutnya, yaitu memunculkan peristiwa atau kejadian yang melukiskan
tokoh-tokoh masuk dalam konflik antar tokoh dan terjadi perselisihan konflik,
selanjutnya masuk klimaks, berakhir dengan pemecahan masalah berupa peleraian
dan penyelesaian masalah sehingga alur dalam cerpen ini disusun dengan
tahapan alur maju.
4.
Latar
Dalam cerpen Mereka Bilang, Saya
Monyet! latar tempatnya di kafe (kamar mandi kafe, panggung kafe,
ruang kafe). Dan latar suasana yang muncul dalam cerpen ini bosan, memprihatinkan
( ketika tokoh aku di hina oleh teman-temannya), perselisihan ( antara tokoh
aku dan manusia berkepala binatang saat tokoh aku di maki-maki dalam toilet ). Senang
( ketika tokoh aku membuktikan bahwa dirinya berani dan menyanyi di atas
panggung kafe, dia juga memberi pelajaran terhadap laki-laki yang memakinya
dalam tolet dengan mencekiknya).
“Saya mengisyaratkan pemain keyboard
untuk memainkan La Bamba. Dengan terpaksa pemain keyboard mengikuti permintaan
saya. saya mulai berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik dan suara saya yang
terdengar tidak merdu. Saya berputar ke kiri, berputar ke kanan, bergerak maju,
bergerak ke belakang, bertepuk tangan, berteriak kencang, duduk di atas
pangkuan pemain keyboard dan semua yang ada di kafe itu ikut bersorak sorai dan
bertepuk tangan.”
5.
Sudut
Pandang
Cerpen Mereka Bilang, Saya
Monyet! ini menggunakan sudut pandang pengarang orang pertama sebagai
pelaku utama.
“Saya memperhatikan bayangan diri saya
di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi
menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya adalah seekor
monyet.waktu mereka mengatakan itu kepada saya, saya sangat gembira. Saya
katakan, jika saya seekor monyet maka saya satu-satunya binatang yang paling
mendekati manusia.Berarti derajat saya berada di atas mereka.Tapi mereka
bersikeras bahwa mereka manusia bukan binatang, karena mereka punya akal dan
perasaan.Dan saya hanyalah seekor binatang. Hanya seekor monyet! ”
6.
Gaya
Bahasa
Gaya bahasa pada cerpen ini di antaranya
menggunakan majas metafora. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metafora adalah
pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan
sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan . Dalam cerpen ini
dicontohkan tokoh Si Kepala Buaya melukiskan persamaan atau perbandingan dengan
karakter orang yang mata karanjang atau buaya darat, selanjutnya Si Kepala Ular
melukiskan persamaan atau perbandingan dengan karakter orang yang genit dan
penggoda.
Selain itu dalam cerpen ini kita juga
menemui majas sarkasme yaitu majas yang menggunakan kata-kata pedas atau ejakan
kasar untuk menyindir. Seperti halnya tokoh-tokoh manusia yang dilambangkan
dengan manusia berkepala binatang, ini mengungkapkan ejekan kasar untuk
menyindir sekelompok manusia yang amoral. Bahasa yang digunakan pengarang juga
terkesan vulgar (mengendus-endus kemaluannya).
7. Amanat
Apa
yang di gambarkan oleh Djenar tersebut menunjukkan adanya semangat untuk
memberikan perhatian dan berpihak terhadap penindasan dan pemerasan terhadap
perempuan dalam masyarakat. Para perempuan yang merupakan korban pelecehan dan
kekerasan seksual dalam cerpen-cerpen tersebut mempresentasikan kondisi
perempuan secara nyata ada dalam masyarakat. Sudah seharusnya
kita menata diri untuk bisa menghargai orang lain dan menjaga perbuatan kita
yang berhubungan dengan moral dan etika. Apalagi seorang yang menjadi pemimpin
yang harusnya bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.
B.
Unsur Ekstrinsik
Djenar
Maesa Ayu, dalam cerpen ini mengupas tentang kehidupan dunia politik, pejabat,
penguasa, pengusaha dengan tokoh yang disamarkan berupa sekelompok manusia
berwajah binatang yang nampaknya menyindir tingkah laku manusia yang berhati
binatang. Secara ekstrinsik pengarang mengupas unsur moral, sosial dan
politik.
1. Moral
Terjadi penindasan terhadap nilai kemanusiaan
dan moral dalam cerpen ini, mereka/ manusia berkepala binatang tidak memandang
seseorang dan menjatuhkan harga diri orang lain. Seperti pada saat mereka
bersama-sama sedang berkumpul di meja café, mereka mengejek salah seorang dari
mereka, menghina, menertawakan dan menganggap rendah.
“waktu saya menyatakan
bahwa saya mempunyai hati, mereka tertawa dan memandang saya dengan penuh iba
atas kebodohan saya. Katanya yang mereka maksudkan adalah perasaan, selain itu
mereka juga mempunyai otak. Tetapi ketika saya protes dan menyatakan bahwa saya
pun punya otak, lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak. Katanya, otak yang
mereka maksud adalah akal”.
“saya benar-benar tidak
mengerti maksud mereka. Yang tahu saat itu hanya hati saya terasa ngilu bagai
disaya-sayat sembilu. Mungkinkah ini yang disebut perasaan?”
2. Sosial
Dalam
cerpen ini terdapat unsur yang berbau seks bebas. Saya menemukan beberapa
cerpen yang secara tidak langsung berhubungan dengan dunia seksualitas. Apa
yang ditulis Djenar ada kaitannya dengan realita kehidupan kita sekarang ini,
yang terang-terangan berhubungan seks di depan umum. Hal ini dibuktikan dengan
maraknya video porno yang beredar dengan bebas dimasyarakat. Dan itu menyerupai
tingkah laku binatang, yang tentunya tidak merasa malu dan canggung melakukan hubungan
seks di depan umum.
Cerpen
ini sebuah sindiran terhadap orang-orang yang menggunakan topeng kehidupan
sosial saat berada di lingkungan, namun tabiat aslinya tak jauh dari sosok
manusia yang berkepala binatang. Djenar menulis sindirannya seperti berikut:
“Namun seperti Si Kepala Anjing, sikap Si Kepala Buaya itu tidak kalah
berbudayanya jika berada di tempat umum. Saya yakin, pasti tidak ada yang
mengira kelakuan Si kepala Buaya dan Si Kepala Ular juga Si Kepala Anjing,
bahkan semua kepala-kepala binatang ini ketika mereka tidak berada di depan
umum”.
3.
Politik
Di gambarkan dalam tokoh yang berkepala
binatang, yang kenyataannya mereka tetap saja
bukan binatang. Orang-orang yang di luar terlihat baik, berpendidikan,
menjaga nama baik dan terlihat sempurna, itu semua hanya kebohongan semata.
Dalam kenyataannya mereka tidak jauh berbeda dengan binatang/bejat. Seperti
dalam kehidupan saat ini, tergambar bahwa para pejabat, pemimpin, penguasa yang
di luarnya terlihat baik, dan berwibawa, ternayata mereka juga bermain wanita,
mabuk-mabukan, serta menindas orang kecil.
“Sepanjang hidup saya melihat manusia
berkaki empat. Berekor anjing, babi atau kerbau. Berbulu serigala, landak atau
harimau. Dan berkepala ular, banteng atau keledai. Namun tetap saja mereka bukan
binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara
mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka
membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka
bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon mereka mempunyai hati.”
4. Budaya
5. Psikologi
pengarang
Dari
cerpen diatas, tampak bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen-cerpen Djenar
sebagian besar merupakan korban pelecehan dan kekerasan seksual. Cerpen-cerpen
Djenar menunjukkan adanya keberpihakan pengarang untuk menyampaikan penderitaan
yang dialami kaumnya. Hal
ini sesuai dengan cerita di atas yang mengidentifikasikan dirinya atau tokoh sebagai
aku/wanita, sedangkan tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.
Tentang Djenar Maesa
Ayu, saya langsung beranggapan bahwa terkesan liar dan vulgar dalam bahasa yang
digunakan.
Adapun kutipannya
sebagai berikut: ”Saya tahu persis siapa dirinya. Saya tahu persis Si Kepala
Anjing berhubungan dengan banyak laki padahal ia sudah bersuami. Saya persis Si
Kepala Anjing sering mengendus-ngendus kemaluan Si kepala Srigala. Bahkan Si
Kepala Anjing juga pernah mengendus-ngendus kemaluan saya walaupun kami
berkelamin sama. Tapi tidak di depan umum”.
Dari
beberapa cerpen yang ditulisnya, tidak sedikit karyanya berupa sindiran tentang
kehidupan sosial yang cenderung berbau seks dan bebas, yang tentunya sering
kita jumpai dikehidupan sehari-hari. Namun yang menjadi pertanyaan saya,
mengapa Djenar begitu dekat dengan cerita-cerita seks yang ada dalam setiap
karyanya? Mungkinkan ada hubungannya dengan kehidupan nyata dari seorang
Djenar. Karya-karyanya sungguh menarik untuk dibaca, karena memberikan warna
baru di dunia sastra Indonesia, bahwa karya-karya di Indonesia tidaklah monoton
yang hanya menampilkan sebuah cerita yang bernuansa cinta. Inilah yang menjadi
daya tarik cerpen ini.
i loved this wholesale jerseys,cheap jerseys,nfl jerseys,wholesale jerseys,wholesale nfl jerseys,Cheap Jerseys china,wholesale jerseys,cheap jerseys,wholesale jerseys from china,cheap nfl jerseys Look At This
BalasHapus