Senin, 05 Oktober 2015

Analisis cerpen "Mereka Bilang Saya Monyet" karangan Djenar Maesa Ayu

“MEREKA BILANG, SAYA MONYET!”
Karya Djenar Maesa Ayu

PEMBAHASAN
Unsur-unsur Pembangun Cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet!”
A. Unsur Intrinsik
1.      Tema
Tema dalam cerpen ini yaitu kemunafikan. Buku ini menginspirasi dan mengingatkan kita betapa manusia sudah tidak lagi manusiawi. Mengumbar kemunafikan yang semakin menghitamkan kehidupannya. di luar, mereka terlihat baik dan sempurna di mata orang lain, tetapi tidak untuk di belakang. Manusia-manusia itu berperilaku seperti seorang binatang dan sangat buruk. Cerita dalam novel ini saling berhubungan dunia politik, pejabat, penguasa, pengusaha dengan tokoh yang disamarkan berupa sekelompok manusia berwajah binatang yang nampaknya menyindir tingkah laku manusia yang berhati binatang.
Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki empat. Berekor anjing, babi atau kerbau. Berbulu serigala, landak atau harimau. Dan berkepala ular, banteng atau keledai.
Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon mereka mempunyai hati.”





2.      Tokoh dan Penokohan
a.       Tokoh Utama
Tokoh utama dalam cerpen ini adalah tentang seorang wanita yang dilambangkan berupa seekor monyet. Monyet ini berkarakter baik, yaitu memerangi moral bejat yang muncul di lingkungannya.
“Saya menunggu di dalam kamar mandi. Tidak lama pintu diketuk. Saya membuka pintu. Si Kepala Buaya menyeruak masuk dan memberondong saya dengan ciuman.Saya cekik lehernya dan saya sandarkan dia ke dinding. Saya hajar mukanya seperti apa yang saya harapkan sebelumnya. Pintu kamar mandi diketuk. Saya membuka pintu dan Si Kepala Ular sudah berdiri berkacak pinggang di depan pintu. Saya mempersilakan ia masuk dan meninggalkan mereka. Saya mendengar suara tamparan di pipi Si Kepala Buaya tempat saya menghajar tadi”.
Tokoh saya dalam cerpen Mereka Bilang Saya monyet! Merupakan sosok perempuan hidup dalam lingkungan (teman-temannya) yang tidak sesuai dengannya.  Keberadaannya yang tidak di anggap oleh temannya atau di pandang hanya sebelah mata. Dia dipanggil Monyet oleh teman-temannya, yang menganut gaya hidup munafik dan free seks. Cerpen ini juga terlihat bahwa penguasa yang di gambarkan seperti binatang ini tidak hanya melakukan seks bebas, tetapi juga bertindak sewenang-wenang dan adanya penindasan terhadap kaum kecil yaitu tokoh saya “monyet”.
“Saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua berkepala manusia tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya adalah seekor monyet. Waktu mereka mengatakan itu kepada saya saya sangat gembira. Saya katakan jika saya seekor monyet maka saya satu-satu binatang yg paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka. Tapi mereka manusia bukan binatang karena mereka mempunyai akal & perasaan. Dan saya hanyalah seekor binatang.”
Dan dia juga berani mendobrak kepincangan yang terjadi di lingkungannya, hal ini ditampilkan dalam cerpen yaitu dia yang biasa terkucil tidak ada seorang pun yang peduli kepadanya, kini berani mengangkat kaki menuju ke panggung bernyanyi dengan kepala dihentak-hentakkan sambil berjingkrak-jingkrak dan ternyata semua yang hadir bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Dia merasa kemerdekaannya kini mulai bangkit.
b.      Tokoh Si Kepala Buaya, berekor kalajengking, ia adalah seorang pria yang bermata keranjang.
“Kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin mendesak. Pintu kamar mandi masih terkunci.Saya mengetuk pintu pelan-pelan.Tidak ada jawaban dari dalam.Tidak ada suara air.Tidak ada suara mengedan.Saya menempelkan telinga saya di mulut pintu.Saya mendengar desahan tertahan.Saya kembali mengetuk pintu.Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat lubang kunci bersamaan dengan pintu dibuka dari dalam.Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari dalam kamar mandi.Yang laki-laki lantang memaki, “Dasar binatang! Dasar monyet! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!”
Seharusnya saya menghajar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu. ....”
c.       Si Kepala Ular, ia adalah seorang wanita bejat yang sering berganti-ganti pasangan.
“Mata saya bertubrukan dengan mata Si Kepala Buaya yang berekor kalajengking itu. Perempuan berkepala ularnya masih berasyik masyuk dengan laki-laki berkepala buaya lain. Mungkin laki-laki itu gigolo, pikir saya. Mana mungkin laki-laki sejati rela menyerahkan kekasihnya ke dalam pelukan laki-laki lain?”
d.      Si Kepala Anjing, ia adalah seorang wanita yang sering berhubungan dengan banyak lelaki padahal sudah bersuami, bahkan ia tertarik pula dengan Monyet yang notabene sama-sama wanita seperti dirinya.
“Saya tahu persis siapa dirinya. Saya tahu persis Si Kepala Anjing berhubungan dengan banyak laki-laki padahal ia sudah bersuami. Saya tahu persis Si Kepala Anjing sering mengendus-endus kemaluan Si Kepala Srigala. Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah mengendus-endus kemaluan saya walaupun kami berkelamin sama. Tapi tidak di depan umum.”
Dia juga seorang wanita yang cerewet, seperti dikisahkan dalam cerpen setelah Monyet berada di atas panggung dan bertanya kepada Si Kepala Gajah, Si Kepala Serigala, Si Kepala Babi, Si Kepala Kuda semua membisu, hanya Si Kepala Anjinglah yang berani menggonggong.
“Hanya Si Kepala Anjing yang berani menggonggong.“Bagaimana kamu mau disebut manusia? Wujudmu boleh manusia, tapi kelakuanmu benar-benar monyet!” ... . Ia kembali menggonggong tertahan. “Susah bicara dengan makhluk yang tidak punya otak! Sudahlah, kamu tidak akan pernah bisa mengerti apa yang saya katakan dan maksudkan. Kamu tidak punya perasaan malu.Kamu tidak punya akal untuk membedakan mana yang tidak dan mana yang pantas untuk kamu lakukan.”
e.       Tokoh tambahan lainnya yang ada dalam kehidupan Si Monyet adalah Si Kepala Serigala berwajah hitam yang selalu mengeluarkan uang untuk berpesta pora di kafe mentraktir kelompoknya, Si Kepala Gajah berwajah abu-abu, Si Kepala Harimau berwajah coklat, Si Kepala Babi, Si Kepala Kuda dan Si Kepala Sapi.
Metafora manusia  dengan bermacam-macam binatang dalam cerpen tersebut menunjukkan betapa para manusia sudah memiliki karakter yang kurang beradab. Dalam realitas sehari-hari perbedaan manusia dengan binatang, karena dalam perspektif manusia di pandang lebih beradab dari binatang.
3.      Alur
Dilihat dari cara menyusun bagian-bagian alur, Djenar menampilkannya secara urut disusun mulai kejadian awal memperkenalkan para tokoh kepada pembaca diteruskan dengan kejadian-kejadian berikutnya, yaitu memunculkan peristiwa atau kejadian yang melukiskan tokoh-tokoh masuk dalam konflik antar tokoh dan terjadi perselisihan konflik, selanjutnya masuk klimaks, berakhir dengan pemecahan masalah berupa peleraian dan penyelesaian masalah sehingga alur dalam cerpen ini disusun dengan tahapan alur maju.
4.      Latar
Dalam cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet!  latar tempatnya di kafe (kamar mandi kafe, panggung kafe, ruang kafe). Dan latar suasana yang muncul dalam cerpen ini bosan, memprihatinkan ( ketika tokoh aku di hina oleh teman-temannya), perselisihan ( antara tokoh aku dan manusia berkepala binatang saat tokoh aku di maki-maki dalam toilet ). Senang ( ketika tokoh aku membuktikan bahwa dirinya berani dan menyanyi di atas panggung kafe, dia juga memberi pelajaran terhadap laki-laki yang memakinya dalam tolet dengan mencekiknya).
“Saya mengisyaratkan pemain keyboard untuk memainkan La Bamba. Dengan terpaksa pemain keyboard mengikuti permintaan saya. saya mulai berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik dan suara saya yang terdengar tidak merdu. Saya berputar ke kiri, berputar ke kanan, bergerak maju, bergerak ke belakang, bertepuk tangan, berteriak kencang, duduk di atas pangkuan pemain keyboard dan semua yang ada di kafe itu ikut bersorak sorai dan bertepuk tangan.”
5.      Sudut Pandang
Cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! ini menggunakan sudut pandang pengarang orang pertama sebagai pelaku utama.
“Saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka saya adalah seekor binatang. Kata mereka saya adalah seekor monyet.waktu mereka mengatakan itu kepada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika saya seekor monyet maka saya satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia.Berarti derajat saya berada di atas mereka.Tapi mereka bersikeras bahwa mereka manusia bukan binatang, karena mereka punya akal dan perasaan.Dan saya hanyalah seekor binatang. Hanya seekor monyet! ”
6.      Gaya Bahasa
Gaya bahasa pada cerpen ini di antaranya menggunakan majas metafora. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan . Dalam cerpen ini dicontohkan tokoh Si Kepala Buaya melukiskan persamaan atau perbandingan dengan karakter orang yang mata karanjang atau buaya darat, selanjutnya Si Kepala Ular melukiskan persamaan atau perbandingan dengan karakter orang yang genit dan penggoda.
Selain itu dalam cerpen ini kita juga menemui majas sarkasme yaitu majas yang menggunakan kata-kata pedas atau ejakan kasar untuk menyindir. Seperti halnya tokoh-tokoh manusia yang dilambangkan dengan manusia berkepala binatang, ini mengungkapkan ejekan kasar untuk menyindir sekelompok manusia yang amoral. Bahasa yang digunakan pengarang juga terkesan vulgar (mengendus-endus kemaluannya).
7.      Amanat
Apa yang di gambarkan oleh Djenar tersebut menunjukkan adanya semangat untuk memberikan perhatian dan berpihak terhadap penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat. Para perempuan yang merupakan korban pelecehan dan kekerasan seksual dalam cerpen-cerpen tersebut mempresentasikan kondisi perempuan secara nyata ada dalam masyarakat. Sudah seharusnya kita menata diri untuk bisa menghargai orang lain dan menjaga perbuatan kita yang berhubungan dengan moral dan etika. Apalagi seorang yang menjadi pemimpin yang harusnya bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.

B. Unsur Ekstrinsik
Djenar Maesa Ayu, dalam cerpen ini mengupas tentang kehidupan dunia politik, pejabat, penguasa, pengusaha dengan tokoh yang disamarkan berupa sekelompok manusia berwajah binatang yang nampaknya menyindir tingkah laku manusia yang berhati binatang. Secara ekstrinsik pengarang mengupas unsur moral, sosial dan politik. 
1.      Moral
Terjadi penindasan terhadap nilai kemanusiaan dan moral dalam cerpen ini, mereka/ manusia berkepala binatang tidak memandang seseorang dan menjatuhkan harga diri orang lain. Seperti pada saat mereka bersama-sama sedang berkumpul di meja café, mereka mengejek salah seorang dari mereka, menghina, menertawakan dan menganggap rendah.
“waktu saya menyatakan bahwa saya mempunyai hati, mereka tertawa dan memandang saya dengan penuh iba atas kebodohan saya. Katanya yang mereka maksudkan adalah perasaan, selain itu mereka juga mempunyai otak. Tetapi ketika saya protes dan menyatakan bahwa saya pun punya otak, lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak. Katanya, otak yang mereka maksud adalah akal”.
“saya benar-benar tidak mengerti maksud mereka. Yang tahu saat itu hanya hati saya terasa ngilu bagai disaya-sayat sembilu. Mungkinkah ini yang disebut perasaan?”
2.      Sosial
Dalam cerpen ini terdapat unsur yang berbau seks bebas. Saya menemukan beberapa cerpen yang secara tidak langsung berhubungan dengan dunia seksualitas. Apa yang ditulis Djenar ada kaitannya dengan realita kehidupan kita sekarang ini, yang terang-terangan berhubungan seks di depan umum. Hal ini dibuktikan dengan maraknya video porno yang beredar dengan bebas dimasyarakat. Dan itu menyerupai tingkah laku binatang, yang tentunya tidak merasa malu dan canggung melakukan hubungan seks di depan umum.
Cerpen ini sebuah sindiran terhadap orang-orang yang menggunakan topeng kehidupan sosial saat berada di lingkungan, namun tabiat aslinya tak jauh dari sosok manusia yang berkepala binatang. Djenar menulis sindirannya seperti berikut: “Namun seperti Si Kepala Anjing, sikap Si Kepala Buaya itu tidak kalah berbudayanya jika berada di tempat umum. Saya yakin, pasti tidak ada yang mengira kelakuan Si kepala Buaya dan Si Kepala Ular juga Si Kepala Anjing, bahkan semua kepala-kepala binatang ini ketika mereka tidak berada di depan umum”.
3.      Politik
Di gambarkan dalam tokoh yang berkepala binatang, yang kenyataannya mereka tetap saja  bukan binatang. Orang-orang yang di luar terlihat baik, berpendidikan, menjaga nama baik dan terlihat sempurna, itu semua hanya kebohongan semata. Dalam kenyataannya mereka tidak jauh berbeda dengan binatang/bejat. Seperti dalam kehidupan saat ini, tergambar bahwa para pejabat, pemimpin, penguasa yang di luarnya terlihat baik, dan berwibawa, ternayata mereka juga bermain wanita, mabuk-mabukan, serta menindas orang kecil.
Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki empat. Berekor anjing, babi atau kerbau. Berbulu serigala, landak atau harimau. Dan berkepala ular, banteng atau keledai. Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon mereka mempunyai hati.”
4.      Budaya



5.      Psikologi pengarang
Dari cerpen diatas, tampak bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen-cerpen Djenar sebagian besar merupakan korban pelecehan dan kekerasan seksual. Cerpen-cerpen Djenar menunjukkan adanya keberpihakan pengarang untuk menyampaikan penderitaan yang dialami kaumnya.   Hal ini sesuai dengan cerita di atas yang mengidentifikasikan dirinya atau tokoh sebagai aku/wanita, sedangkan tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya. Tentang Djenar Maesa Ayu, saya langsung beranggapan bahwa terkesan liar dan vulgar dalam bahasa yang digunakan.
Adapun kutipannya sebagai berikut: ”Saya tahu persis siapa dirinya. Saya tahu persis Si Kepala Anjing berhubungan dengan banyak laki padahal ia sudah bersuami. Saya persis Si Kepala Anjing sering mengendus-ngendus kemaluan Si kepala Srigala. Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah mengendus-ngendus kemaluan saya walaupun kami berkelamin sama. Tapi tidak di depan umum”.

Dari beberapa cerpen yang ditulisnya, tidak sedikit karyanya berupa sindiran tentang kehidupan sosial yang cenderung berbau seks dan bebas, yang tentunya sering kita jumpai dikehidupan sehari-hari.  Namun yang menjadi pertanyaan saya, mengapa Djenar begitu dekat dengan cerita-cerita seks yang ada dalam setiap karyanya? Mungkinkan ada hubungannya dengan kehidupan nyata dari seorang Djenar. Karya-karyanya sungguh menarik untuk dibaca, karena memberikan warna baru di dunia sastra Indonesia, bahwa karya-karya di Indonesia tidaklah monoton yang hanya menampilkan sebuah cerita yang bernuansa cinta. Inilah yang menjadi daya tarik cerpen ini.

1 komentar: